FENOMENA CITAYAM FASHION WEEK DAN KEBUTUHAN RUANG PUBLIK SEBUAH KOTA

bonge ikon Citayam Fashion Week.  sumber

 Fenomena Citayam Fashion Week yang belakangan menjadi isu kiwari merupakan sebuah fenomena yang berawal dari sekelompok anak muda yang di wawancara pada sebuah platform media social, yang memperlihatkan penampilan mereka yang unik dan mereka berasal dari Citayam. Lokasi berkumpul pemuda tersebut sebenarnya berada di Jalan Jenderal Sudirman, Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Lokasinya tepatnya di sekitar Stasiun MRT Dukuh Atas, Stasiun BNI City dan Terowongan Kendal, sedangkan Citayam sendiri berada di Kota Depok yang berjarak 30 km lebih. Lokasi tersebut mudah diakses dan murah, untuk sampai di Kawasan tersebut dari daerah asal mereka di  Bojonggede cukup membayar 5000 Rupiah dan dari Citayam 4000 Rupiah, Tetapi bagaimana hubungannya Citayam dan Taman Dukuh Atas Jakarta?.

Sebenarnya jika dilihat dari lokasi tempat anak-anak muda tersebut berkumpul merupakan sebuah lokasi Taman public yaitu Taman Dukuh Atas, di Kawasan Sudirman. Kegiatan mereka sederhana hanya nongkrong, jajan kudapan “Starling” Starbak keliling, dan jenis kudapan hanya sesuai dengan kantong anak-anak sekolah. Hal-hal tersebut seperti dijelaskan Carr dalam “Needs in Public Space. Urban Design Reader” menunjukkan bahwa kebutuhan akan ruang public yang dapat mempunyai fungsi sebagai tempat untuk kehidupan komunal pada sebuah Kawasan, yang memiliki sifat dinamis dan aksesbilitas yang baik, sehingga dapat membentuk ruang komunikasi antar pengunjung dan mendukung aktivitas untuk bermain dan relaksasi.

Kebutuhan Ruang Publik

Kebutuhan akan Ruang Publik ini juga diatur pada peraturan pemerintah yang tertuang dalam Undang- Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Ruang Terbuka Hijau. Proporsi atau ukuran ideal ruang terbuka hijau di perkotaan yaitu sebesar 30% dari luas wilayah, proporsi tersebut terdiri dari 20% ruang terbuka hijau publik dan 10% terdiri dari ruang terbuka hijau privat. Sehingga idealnya setiap ada pengembangan sebuah wilayah harus juga dperhatikan sebagaian fungsi Kawasan tersebut untuk kebutuhan ruang public.

Catur Gatra Tunggal, Tata Kota Tradisional di Kota Jawa

Jika kita melihat dari sejarah dan budaya terutama di Tanah Jawa, Kebutuhan Ruang public diatur dalam Tata Kota yaitu “ Catur Gatra Tunggal”.   Makna Konsep tata Kota Catur Gatra Tunggal maka kita akan berbicara tentang budaya, Konsep Budaya yang digunakan sebagai pembentuk Ruang Kota. Pada sejarahnya Yogyakarta dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono I didasarkan pada konsep social, kenegaraan dan fungsional. Konsep -konsep tesebut diimplementasikan ke dalam struktur, pola ruang dan citra kota dan terwujudlah konsep Catur Gatra Tunggal atau Catur Sagotra. Sebuah Konsep Tata Kota Jawa berdasarkan konsep kosmologi jawa, yang bersatunya 4 (catur) unsur kehidupan dalam satu (tunggal) kesatuan ruang. Keempat unsur (gatra) tersebut mewakili fungsi-fungsi penting dalam kehidupan Kota, yaitu Unsur Pemerintah/pemimpin yang diwakili oleh Keraton / Pendopo / Kantor Pemerintahan, Unsur Religi, etika dan Moral diwakili oleh Masjid,  Unsur ekonomi masyarakat diwakili oleh Pasar dan Alun-Alun. (Suryanto et al., 2015)

Catur gotro tunggal adalah konsep kosmologi jawa, yaitu harmoni mikro dan makrokosmos. Kraton sebagai pemimpin, masjid sebagai agama, pasar sebagai kegiatan ekonomi dan alun-alun merefleksikan budaya. Pola kepemimpinan yang mengacu pada religi, ekonomi dan budaya merupakan cerminan dari konsep Memayu Hayuning Bawono, yang saat ini dikenal sebagai konsep pembangunan yang berkelanjutan, yang dikemukakan oleh Sultan Hamengku Buwono X (2012) dalam Suryanto et al., (2015).

Peran Alun-alun sebagai ruang public, symbol dari budaya masyarakat di tandai dengan keberadaannya sebagai tempat bertemunya masyarakat dari semua kalangan, sarana rekreasi, ekonomi,  tempat pemerintah untuk mensosialisasikan kegiatan di masyarakat, maupun kegiatan protokoler lainnya, dan juga alun-alun sebagai wadah perluasan kegiatan keagamaan yang diadakan Masjid Agung.

Ruang publik yang berdasarkan filosofi jawa “Catur Gatra Turnggal” harus bisa diadaptasikan dan diimbangi dengan kebutuhan kekinian yang dibutuhkan masyarakat, jangan hanya mengandalkan Alun-alun saja sebagai tempat ruang public terutama di kota-kota di jawa, tetapi harus menciptakan sebuah pop culture yang baru, yang diimbangi dengan ekosistem kreatif dikawasan tersebut termasuk dalam hal ini kemudahan akses terutama dari transportasi umum yang terjangkau untuk semua kalangan.

Adanya fenomena konten creator belakangan ini membutuhkan tempat yang bagus dan unik untuk berswafoto, juga diimbangi dengan Kawasan produktif dan kreatif sebagai penyangga fungsi tersebut termasuk adanya Kawasan untuk makanan dan minuman dengan harga terjangkau karena kebutuhan tersebut juga dapat meningkatkan value Kawasan. nantinya semakin banyak foto atau video Kawasan tersebut beredar semakin terkenal dan diketahui masyarakat yang dapat memunculkan fenomena fenomena baru, media social juga berperan penting dalam membentuk nilai dari ruang public tersebut. Dan lebih penting lagi adalah perawatan dan regulasi aturan untuk menjaga fungsi Kawasan tersebut tetap menjadi ruang public yang ramah terhadap siapapun dan dari kalangan manapun.


sumber:

http://ejournal.uin-malang.ac.id/index.php/JIA/article/view/13263

Komentar