Hammam Rofiqi Agustapraja
Kampong Naga adalah sebuah pemukiman yang masih memegang teguh adat-istiadat sunda dan masih menggunakan ekosistem alam sebagai gantungan hidup mereka, Hal ini akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suasana kebersahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat. oleh karena itu ekosistem di Kampung Naga masih dijaga dengan baik oleh masyarakatnya. Hal inilah yang menjadi keunikan dan kekhasan dari Kampung Naga yang membedakan antara kampong satu dengan kampong yang lainnya. Kampung Naga
Pendahuluan.
Kampung kecil yang terletak jauh dari hiruk pikuk kota ini berselimutkan nuansa alam yang masih perawan. Masyarakatnya hidup dengan rukun, damai dan sejahtera. Hidup berkecukupan dengan kekayaan adat istiadat tradisional yang dijunjung tinggi.
Dalam sejarah Sunda, memegang teguh adat adalah hal yang utama. Jejak kental memegang teguh adat ini masih dapat ditemukan di beberapa kampung adat di daerah Sunda, diantaranya adalah Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Kuta di Ciamis dan Kampung Kanekes Baduy di Banten. Mereka telah membuktikan bahwa tradisi tradisional Sunda yang dipegang teguh memiliki kekuatan yang sakral dan unik dalam melangengkan kehidupan harmonis dengan alam semesta.
Pesona alamnya masih terpelihara dengan natural, jauh dari polusi dan pencemaran lingkungan. Masyarakat adat Kampung Naga hidup damai dan memiliki banyak kearifan yang patut kita pelajari untuk menciptakan keseimbangan hidup dengan ekosistem alam.
Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekolompok masyarakat yang kuat memegang adat istiadat peninggalan leleuhurnya. Hal ini akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suasana kebersahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat.
Kampung eksotis ini berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, di sebelah baratnya hutan yang dikeramatkan karena terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan disebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber iarnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut.
Kampung kecil yang terletak jauh dari hiruk pikuk kota ini berselimutkan nuansa alam yang masih perawan. Masyarakatnya hidup dengan rukun, damai dan sejahtera. Hidup berkecukupan dengan kekayaan adat istiadat tradisional yang dijunjung tinggi.
Dalam sejarah Sunda, memegang teguh adat adalah hal yang utama. Jejak kental memegang teguh adat ini masih dapat ditemukan di beberapa kampung adat di daerah Sunda, diantaranya adalah Kampung Naga di Tasikmalaya, Kampung Kuta di Ciamis dan Kampung Kanekes Baduy di Banten. Mereka telah membuktikan bahwa tradisi tradisional Sunda yang dipegang teguh memiliki kekuatan yang sakral dan unik dalam melangengkan kehidupan harmonis dengan alam semesta.
Pesona alamnya masih terpelihara dengan natural, jauh dari polusi dan pencemaran lingkungan. Masyarakat adat Kampung Naga hidup damai dan memiliki banyak kearifan yang patut kita pelajari untuk menciptakan keseimbangan hidup dengan ekosistem alam.
Kampung Naga merupakan suatu perkampungan yang dihuni oleh sekolompok masyarakat yang kuat memegang adat istiadat peninggalan leleuhurnya. Hal ini akan terlihat jelas perbedaannya bila dibandingkan dengan masyarakat lain di luar Kampung Naga. Masyarakat Kampung Naga hidup pada suatu tatanan yang dikondisikan dalam suasana kebersahajaan dan lingkungan kearifan tradisional yang lekat.
Kampung eksotis ini berada di wilayah Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Propinsi Jawa Barat tidak jauh dari jalan raya yang menghubungkan kota Garut dengan kota Tasikmalaya. Kampung ini berada di lembah yang subur, di sebelah baratnya hutan yang dikeramatkan karena terdapat makam leluhur masyarakat Kampung Naga. Di sebelah selatan dibatasi oleh sawah-sawah penduduk, dan disebelah utara dan timur dibatasi oleh sungai Ciwulan yang sumber iarnya berasal dari Gunung Cikuray di daerah Garut.
![]() |
Pintu masuk Kampung naga dan akses jalan setapak menuju Kampung Naga. |
Perkampungan tradisional dengan luas areal kurang lebih empat hektar ini memiliki kehidupan komunitas yang unik. Kehidupan mereka dapat berbaur dengan masyarakat modern, beragama Islam, tetapi masih kuat memelihara Adat Istiadat leluhurnya. Seperti berbagai upacara adat, upacara hari-hari besar Islam misalnya Upacara bulan Mulud atau Alif dengan melaksanakan Pedaran (pembacaan Sejarah Nenek Moyang) Proses ini dimulai dengan mandi di Sungai Ciwulan.
Arsitektur Kampung Naga
Bentuk bangunan di Kampung Naga
sama baik rumah, mesjid, patemon (balai pertemuan) dan lumbung padi. Atapnya
terbuat dari daun rumbia, daun kelapa, atau injuk sebagi penutup bumbungan.
Dinding rumah dan bangunan lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik). Sementara
itu pintu bangunan terbuat dari serat rotan dan semua bangunan menghadap Utara
atau Selatan. Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan
bahan alami merupakan ciri khas gara arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga.
Rumah yang berada di Kampung
Naga jumlahnya tidak boleh lebih ataupun kurang dari 108 bangunan secara turun
temurun, dan sisanya adalah Masjid, lei (Lumbung Padi) dan patemon (Balai
Pertemuan). Apabila terjadi perkawinan dan ingin memiliki rumah tangga sendiri,
maka telah tersedia areal untuk membangun rumah di luar perkampungan Kampung
Naga Dalam yang biasa disebut Kampung Naga Luar.
Rumah
yang berada di Kampung Naga jumlahnya tidak boleh lebih ataupun kurang dari 108
bangunan secara turun temurun, dan sisanya adalah Masjid, lei (Lumbung Padi)
dan patemon (Balai Pertemuan). Apabila terjadi perkawinan dan ingin memiliki
rumah tangga sendiri, maka telah tersedia areal untuk membangun rumah di luar
perkampungan Kampung Naga Dalam yang biasa disebut Kampung Naga Luar.
![]() |
Arsitektur Kampung Naga (tradisional) pada bangunan Masjid
|
![]() |
Suasana Kampung Naga yang berada di tengah hutan |
Bentuk
bangunan di Kampung Naga baik rumah, musollah, patemon (balai pertemuan) dan
lumbung padi memiliki bentuk yang serupa. Atapnya terbuat dari daun rumbia,
daun kelapa, atau injuk sebagai penutup bumbungan. Dinding rumah dan bangunan
lainnya, terbuat dari anyaman bambu (bilik) dengan pintu terbuat dari serat
rotan. Keunikan lain tampak pada letak semua bangunan yang menghadap hanya ke
utara atau selatan sebagai bentuk kepercayaan mereka dari generasi ke generasi.
Selain itu tumpukan batu yang tersusun rapi dengan tata letak dan bahan alami
merupakan ciri khas gaya arsitektur dan ornamen Perkampungan Naga.
Semua peralatan rumah tangga
yang digunakan oleh penduduk Kampung Naga pun masih sangat tradisional dan
umumnya terbuat dari bahan anyaman. Dan tidak ada perabotan seperti meja atau
kursi di dalam rumah. Hal ini tidak mencerminkan bahwa Kampung Naga merupakan
kampung yang terbelakang atau tertinggal, akan tetapi mereka memang membatasi
budaya modern yang masuk dan selalu menjaga keutuhan adat tradisional agar
tidak terkontaminasi dengan kebudayaan luar.
Kampung ini menolak aliran
listrik dari pemerintah, karena semua bangunan penduduk menggunakan bahan kayu
dan injuk yang mudah terbakar dan mereka khawatir akan terjadi kebakaran.
Pemangku adat pun memandang apabila aliran listrik masuk maka akan terjadi
kesenjangan sosial diantara warganya yang berlomba-lomba membeli alat
elektronik dan dapat menimbulkan iri hati.
Letak daerahnya yang berada pada
hamparan tanah yang menyerupai lembah, dicirikan dengan bentuk bangunannya yang
seragam. Atap rumahnya yang berwarna hitam terbuat dari bahan ijuk, tampak
berjejer teratur menghadap utara-selatan, dibatasi Sungai Ciwulan. Tempat
permukiman tersebut tampak seperti diapit dua buah hutan.
Kawasan yang dilindungi oleh aturan
adat untuk melindungi Ekosistem alamnya.
Di
Kampong Naga terdapat daerah yang dikeramatkan oleh tradisi atau aturan-aturan adat, hal tersebut
bertujuan untuk mengatur akan kelestarian lingkungan mereka anatara lain:
1.
Leuweung larangan
Suatu kawasan yang luasnya kurang lebih tiga
hektar, dikeramatkan karena di sana dimakamkan leluhur masyarakat suku naga,
sembah dalem eyang singaparana.
Di sebelahnya masih terdapat tiga makam lainnya,
namun tidak diketahui makam siapa. Kunjungan ke makam tersebut biasanya hanya
dilakukan dalam waktu-waktu tertentu, terutama pada saat diselenggarakan
upacara hajat sasih setiap dua bulan sekali. Upacara ritual itu hanya diikuti
oleh kaum laki-laki dewasa yang sebelumnya mengikuti ketentuan khusus.
Misalnya, sudah melakukan beberesih, yakni mandi bersama di Sungai Ciwulan.
Upacara itu dipimpin kuncen yang bertindak sebagai
kepala pemangku adat. Para peserta biasanya menggunakan pakaian yang menyerupai
jubah warna putih, kepala diikat totopong, yakni sejenis ikat kepala khas Suku
Naga. Selain itu mereka tidak boleh menggunakan alas kaki, baik berupa sandal
apalagi sepatu. Sementara areal hutan lainnya yang disebut Leuweung Biuk-karena
letaknya dekat Saluran Biuk-berada pada kaki bukit curam yang sekaligus menjadi
bibir Sungai Ciwulan. Di areal tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman keras
yang berumur lebih dari 50 tahun lebih.
2.
Leuweung Biuk
Suatu kawasan yang termasuk tabu dikunjungi.
anggota masyarakatnya tak seorang pun yang berani menginjakkan kakinya ke areal
hutan tersebut. apalagi, sampai menebang pohon yang tumbuh di atasnya. hal
tersebut karena pamali.
Pamali sama artinya dengan tabu. Ketentuan yang
tidak tertulis itu merupakan dogma yang harus dipatuhi tanpa dijelaskan lagi
alasan-alasannya, apalagi sampai diperdebatkan. Sesuatu yang dikatakan pamali
merupakan ketentuan dari leluhurnya yang harus dipatuhi. Jika tidak, mereka
akan menanggung akibatnya, baik secara individu maupun kelompok.
Peristiwa-peristiwa seperti banjir, kekeringan,
serangan hama dan penyakit tanaman padi yang mengakibatkan panen gagal atau
berkurang produksinya misalnya, dianggap sebagai peristiwa yang tidak lepas
dari hukum sebab akibat. Karena itu, ketika terjadi perambahan tanah adat yang
kemudian dijadikan hutan industri dan perkebunan, masyarakat adat Suku Naga
sudah memperkirakan apa yang akan terjadi selanjutnya.
Tanah adat Suku Naga sebenarnya cukup luas yang
mencakup wilayah Gunung Sunda, Gunung Satria, Gunung Panoongan, Gunung Raja,
Pasir Halang sampai batas jalan raya yang menghubungkan Tasikmalaya-Garut. Daerah
itu sekaligus merupakan sub Daerah Aliran Sungai Ciwulan yang harus dijaga
kelestariannya.
Kearifan
Lokal dan Ekosistem
Pandangan hidup masyarakat adat
Suku Naga yang berkaitan dengan lingkungannya tersebut sebenarnya mengandung
kearifan lokal. Misalnya, hanya dengan pamali, masyarakat adat suku naga mampu
menahan diri, sehingga tidak terjadi perambahan kawasan hutan. Padahal jika
dilihat dari tuntutan kebutuhan dan keterbatasan sumber daya alam yang
dimiliki, desakan tuntutan tersebut jauh lebih kuat dibanding masyarakat
sekitarnya.
Masyarakat adat Suku Naga tabu
membangun rumah dengan menggunakan bahan bangunan industri, kecuali paku. Atap
rumahnya terbuat dari ijuk dan dinding-dindingnya terbuat dari anyaman bambu.
Seluruh tiang penyangga menggunakan balok kayu. Bahan-bahan lokal tersebut
berusaha dipenuhi sendiri tanpa harus merusak kawasan hutannya.
Disebelah pingir utara kampung, berderet beberapa
kolam-kolam ikan yang sengaja dibuat warga. Memang telah menggunakan tembok
untuk pinggirnya, namun hampir disetiap kolam memiliki jamban (pacilingan) yang
masih terbuat dari anyamam bambu. Jamban tersebut dipergunakan warga sebagai
tempat MCK. Meski sederhana namun masyarakat naga telah memandang kesehatan
sebagi suatu kebutuhan utama.
Lahan persawahan yang menghampar di sebelah timur
kampung begitu subur dan hijau. Cukup luas, hampir semuanya milik masyarakat
Naga dan dikelola oleh penduduk naga sendiri. Begitu juga dengan rimbunnya
hutan yang terdiri dari hutan olahan dan hutan larangan.
Pupuk kandang, mereka masih setia dengan pupuk
tersebut. Walaupun pernah menggunakan pupuk urea, tetapi mereka menilai pupuk
alami lebih sehat dibanding urea. Mereka tidak menyesalkan bila menggunakan
pupuk kandang hasil panen mereka hanya dua kali setahun. Begitu pula dengan
proses pembajakan sawah yang masih menggunakan kerbau ketimbang traktor. Pupuk
kandang serta membajak sawah dengan kerbau memang dinilai masih sangat
tradisional, tetapi dari segi kwalitas yang dihasilkan mereka puas.
![]() |
Jamban sebagai saran MCK sekaligus sebagai mata rantai ekosistem yang tak terputus |
Mereka berusaha menjaga kelestariannya. Perusakan hutan lindung Gunung Raja dianggap telah melindas nilai-nilai lokal yang selama ini dianutnya sebab di daerah itu terdapat situs yang memiliki kaitan erat dengan asal-usul masyarakat adat Suku Naga. Selain itu, kawasan hutan tersebut patut dipertahankan mengingat salah satu peran pentingnya sebagai sumber air masyarakat adat Suku Naga.
Masyarakat adat Suku Naga yang
menempati wilayah yang disebut Kampung Naga itu, selama ini diakui memiliki
potensi budaya yang besar merupakan bagian tidak terpisahkan dari budaya Sunda.
Mereka hidup mengelompok tanpa mengisolasi diri dengan lingkungan dan kehidupan
daerah sekitarnya, akan tetapi tetap mempertahankan pandangan hidup dan
tradisinya di tengah gelombang modernisasi.
Kesimpulan
· Masyarakat Kampung Naga masih menjunjung tinggi
adat istiadat mereka yang mengedepankan pelestarian alam sekitar mereka
· Masyarakat Kampung Naga menjaga Ekosistem yang
ada di lingkungan mereka dengan menjaga hutan dan menggunakan bahan-bahan alami
sebagai bahan bangunan, pupuk, makanan dan lain-lain.
·
Salah satu Alur ekosistem yang ada di Kampung
Naga
Manusia-MCK-kolam
ikan-Ikan-manusia.
Daftar
Pustaka
Komentar
Posting Komentar