TIPOLOGI ARSITEKTUR MASJID AGUNG LAMONGAN SEBAGAI KEARIFAN BUDAYA TRADISIONAL

Abstract

The Great Mosque of Lamongan underwent major construction and renovation in the last 10 years, the most visible change was in the main facade which was marked by modern-indo-persian architecture, in addition to these changes it turned out that the Great Mosque of Lamongan retained the characteristics of Javanese Mosque Architecture in the main part of the mosque. The method to prove the description-analysis method, which is done by observing objects which are then described and analyzed by the typology of the traditional architecture of mosques in Java, from the results of the analysis will produce similarities in parts of the Great Mosque. from Lamongan with people from traditional mosques in Ja va, parts of the mosque include roof, mihrab, pulpit, pavilion, pawestren (a place for woman prayer),ablution place, beduk (traditional drum), gate, tower, decoration, and special elements. The purpose of this study is to provide an overview of efforts to preserve cultural heritage in future development, about the parts that must be preserved and maintained to become the intellectual property of Javanese culture 

I.         PENDAHULUAN

Masjid Agung Lamongan dibangun pada tahun 1908, merupakan bangunan yang sangat penting bagi kehidupan sosial budaya di Lamongan, Masjid Agung adalah salah satu elemen penting yang ada di tata kota di Jawa, tata kota tersebut disebut juga dengan “Catur Gatra Tunggal”, keempat elemen tersebut adalah keraton (tempat tinggal penguasa), Alun-Alun, Masjid dan Pasar, yang mempunyai makna pemerintahan yang juga memperhatikan unsur sosial, ekonomi, religi dan budaya sebagai ikatan satu sama lain. (Setianingrum, l., 2015).
Pengaruh budaya jawa bukan hanya pada peletakan tata kota saja, tetapi juga pada gaya langgam arsitektur dari Masjid Agung Lamongan, bangunan awal masjid ini adalah bangunan Masjid dengan atap meru bersusun ganjil yang ditopang oleh struktur soko guru di dalamya.
Pada tahun 2000 an terjadi renovasi dan perbaikan Masjid Agung Lamongan yang menyebabkan tampilan luar (serambi) masjid di berubah dengan memiliki langgam dan gaya yang berbeda dari Langgam Jawa, dan cenderung ke langgam arsitektur modern-indo-persiani (Agustapraja, 2019), di samping perubahan tersebut ternyata Masjid Agung Lamongan masih mempertahankan ciri khas Arsitektur Masjid Jawa pada bagian utama masjid tersebut.
Dari isu tersebut maka didapatkan rumusan masalah tentang, Bagaimanakah tipologi masjid jawa pada Masjid Agung Lamongan yang masih dipertahankan, sehingga menjadikan kearifan budaya yang perlu dilestarikan?.
Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan gambaran tentang upaya pelestarian cagar budaya ke pengembangan ke depannya, tentang bagian-bagian yang harus di lestarikan dan dipertahankan agar menjadi kekayaan intelektual budaya jawa pada khususnya.

I I.         KAJIAN LITERATUR

A. Arsitektur Masjid

Pengertian  Masjid  adalah  suatu  bangunan  tempat  orang-orang  Islam  melakukan ibadah yang dapat dilakukan secara massal/  jamaah maupun individual,  serta kegiatan yang   berhubungan   dengan   kebudayaan   Islam   (Zein,   1986),   hal   yang   sama   juga dijelaskan  oleh  Sumalyo  (2000)  masjid  berasal  dari  kata  sajada-sujud,  yang  berarti patuh,  taat,  serta  tunduk  penuh  hormat  dan  takzim.  Sujud  dalam  dalam  syariat  yaitu berlutut,  meletakkan  dahi,  kedua  tangan  ke  tanah.  Oleh  karena  itu  bangunan  khusus yang dibuat untuk shalat disebut masjid yang artinya: tempat untuk sujud.
Menurut Fanani (2009), Masjid disebut dengan masjid, karena satu-satunya unsur terpokok dalam membangun masjid adalah penyediaan ruang yang berorientasi ke arah kiblat dengan dikelilingi oleh pembatas, adapun isi di dalam ruangan masjid tersebut bisa berbeda antara masjid satu dengan lainnya, tetapi kunci utamanya adalah elemen batas paling luar  Masjid yang menjadi penegas batas antara daerah haram (suci) dan di luarnya.
Dengan demikian menjadi jelas bahwa definisi masjid adalah bangunan yang memiliki poros suatu titik yaitu kiblat, bisa saja sebuah lapangan terbuka yang dibungkus dinding yang tegak di empat sisi batasnya atau sama sekali tanpa dibatasi dinding, seperti Masjid Kufah pertama kali dibangun hanya dibatasi dengan parit kecil di bagian arah kiblat (Fanani, 2009).


B. Tinjauan Tipologi Arsitektur

Tipologi  adalah  kajian  tentang  tipe.   Tipe  berasal  dari  kata  Typos  (bahasa Yunani),  yang  bermakna  impresi,  gambaran  (imej),  atau  figur  dari  sesuatu.  Secara umum  tipe  sering  digunakan  untuk  menjelaskan  bentuk  keseluruhan,  struktur,  atau karakter  dari  suatu  bentuk  atau  objek  tertentu  (Johnson,  1994).  Bila  ditinjau  objek bangunan,  tipologi  terbagi  atas  tiga  hal  pokok,  yaitu  site  (tapak)  bangunan,  form (bentuk)  bangunan,  dan  organisasi  bagian-bagian  bangunan  tersebut  (Rossi,  1982). Untuk kepentingan praktis penelitian ini, pengertian tipologi dikaitkan langsung dengan objek tertentu. Dengan demikian tipologi adalah kajian yang berusaha menelusuri asal- usul  atau   awal  mula   terbentuknya   objek-objek  arsitektural.   Ada  tiga   tahap   yang ditempuh.
  1. Menentukan  bentuk-bentuk  dasar  (formal  struktur)  yang  ada  dalam  tiap  objek arsitektural.
  2. Menentukan  sifat-sifat   dasar   (properties)   yang   dimiliki   oleh  setiap   objek, berdasarkan bentuk dasar yang ada padanya.
  3. Mempelajari   proses    perkembangan    bentuk    dasar    tersebut             sampai    pada perwujudannya saat ini.


C. Tipologi Arsitektur Masjid

Bentukan Masjid terdapat unsur universal yaitu sebagai tampilan baku yang disepakati oleh umat, Hal pokok yang perlu diingat, Masjida adalah tempat untuk menampung kegiatan sholat berjamaah. Arah kiblat dan posisi imam serta makmum adalah pokok utama yang harus terpenuhi, unsur lain seperti tempat wudhu, minaret, mimbar, adalah kelengkapan sekunder, Kubah, kaligrafi, muqarnas, maksura tidak mempengaruhi terhadap syarat sahnya sholat, mubah saja, boleh ada dan boleh tidak. (Fanani, 2009)



Gambar 1. Tipologi Masjid Universal
Sumber : Fanani, 2009
Berkembangnya Islam menyebar ke berbagai penjuru termasuk Indonesia, juga memiliki dampak terhadap bentukan masjid itu sendiri, pengaruh sosial budaya masyarakat setempat juga mampu memberikan keunikan dan ciri khas dalam arsitektur masjid.
 

Gambar 2. Perkembangan Arsitektur Masjid yang bervariasi dipengaruhi oleh budaya setempat
Sumber : Fanani, 2009

Adanya  pengaruh  arsitektur  terdahulu  pada  masjid-masjid  di  Indonesia  yaitu pengaruh  arsitektur   Hindu-Buddha  memberikan   nuansa  dan  corak  tersendiri   pada Arsitektur  masjid  di Indonesia.  Hal tersebut seperti dijelaskan oleh  Tugiyono,  dkk.  (2001) bahwa   Pembangunan masjid pada awal permulaan Islam dipengaruhi oleh kuil atau meru.  Atapnya  berbentuk  tumpang  dengan  susunan  berjumlah  ganjil,  biasanya  tiga, kadang-kadang   sampai   lima   atau   yang  biasa   disebut   atap   tumpang.   Dahulu   atap tumpang  dipakai untuk kuil,  bangunan suci umat Hindu seperti yang ada di Bali,  atap tersebut  mempunyai  bentuk  semakin  ke  atas  makin  kecil  dan  tingkatan  paling  atas berupa limas. Kubah dan menara yang tinggi belum memainkan peranan dalam arsitektur pada  awal  kurun  Islam  di  Indonesia.  Mungkin  karena  faktor  alam,  di  Jazirah  Arab pengumandangan  adzan  dilakukan  pada  menara  yang  tinggi  karena  ada  di  daerah padang  pasir  sedangkan  di  daerah  tropis  seperti  Indonesia  alamnya  dipenuhi  pohon- pohon dan hutan sehingga menggunakan tabuh atau bedug dan kentongan sebagai alat komunikasi.
Pada  zaman  peralihan  ini  para  tukang  masih  terbiasa  dengan  cara  membuat bangunan lama,  seperti candi.  Namun,  semua bangunan ini kemudian mendapat nafas Islam.  Pengaruh  tradisional  dari  agama  Hindu-Budha  juga  tampak  pada  ornamennya hal  ini masih  mengikuti tradisi lama juga karena alasan praktis (Tugiyono, 2001).
Masjid Demak adalah patern dari Arsitektur Masjid Jawa, masjid ini merupakan masjid pertama di Jawa yang dibangun pada 1479 M oleh Raden Patah dan Walisongo, elemen-elemen penyusun tipologi Masjid Jawa bisa dilihat dari Masjid tersebut seperti : (a) Atap, (b) Mihrab, (c) Mimbar, (d) Pawestren, (e) Pawestren, (f) Tempat wudhu, (g) Penanda Sholat, (h) Gerbang, (i) Menara (j) Elemen Khusus.

 

 
Gambar 3. (kiri) Tipologi bentuk dan struktur Masjid Jawa, seperti pada Masjid Demak, (kanan) Tipologi Arsitektur Masjid Jawa.
Sumber : Groiler International (2002) dan Masjid2000.org

III.         METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang digunakan dalam kajian ini meliputi metode penelitian deskriptif analitik dan tipologi. Secara umum tipe sering digunakan untuk menjelaskan bentuk keseluruhan, struktur, atau karakter dari suatu bentuk atau objek tertentu.
Pada tahap analisis digunakan metode berpikir secara deduktif (analisa) - induktif (sintesa), yaitu menggunakan alur umum lalu menuju hal-hal yang khusus untuk ditarik suatu kesimpulan, objek pengataman penelitian adalah Masjid Agung Lamongan yang menganut bentukan arsitektur jawa, dalam hal ini yang di amati adalah : 1. Pola spasial, 2. Elemen Arsitektur Masjid Jawa : (a) Atap, (b) Mihrab, (c) Mimbar, (d) Serambi, (e) Pawestren, (f) Tempat wudhu, (g) Penanda Sholat, (h) Gerbang, (i) Menara (j) Elemen Khusus.


IV.         HASIL DAN PEMBAHASAN

1.            Pola spasial

Semula Masjid Agung Lamongan hanya bisa diakses dari sisi timur dan utara, sisi timur akses dari Jl. KH Hasyim Asyari (Alun-alun Lamongan) dan sisi utara dari gang kecil Pasar Baru Lamongan, Orientasi bangunan pada Masjid Agung adalah ke kiblat, dengan pintu utama berada di sebelah timur dan memanjang ke barat,  pada perkembangannya, dilakukan pengembangan ke arah utara dan selatan, dengan akses jamaah laki-laki pada sisi selatan untuk dan pintu utara untuk akses jamaah perempuan.
Modular pada Denah awal pada bangunan utama (jarak antara kolom kayu penopang atap) + 3 m, dengan konstruksi kayu.





1.      Elemen Arsitektur Jawa

a.       Atap

Bentuk Atap bangunan utama Masjid Agung Lamongan, berupa piramida bertumpuk tiga, dengan penutup atap genting berwarna jingga ke coklatan, dan di puncak atapnya di beri mahkota atau yang disebut “memolo”.

Di puncak atap tumpang bersusun terdapat oranamen puncak yang disebut memolo  atau mustiko, Yaitu ciri khas elemen hiasan puncak pada atap masjid tradisional, berfungsi strukturalnya   sebagai   pengaku   atau   penyeimbang   dari   sistem   struktur tumpangsari

 

b.      Mihrab

Mihrab sendiri adalah ruang yang menonjol dari batas tepi timur Masjid dan berfungsi sebagai tempat imam dalam memimpin sholat jamaah, bentuk mihrab dari Masjid Agung Lamongan terbuat dari hiasan kayu dengan ukir-ukiran geometrik, perpaduan antara persegi dan lengkung. Mihrab ini menambah kesan tradisional pada interior Masjid.

 


c.       Mimbar

Mimbar tempat imam berkhutbah,  dengan ukuran 1.5 x 2 m, dengan berundak lebih tinggi + 30 cm, dengan kursi sebagai tempat duduk khotib (orang yang berkhutbah), pada puncaknya terdapat kubah bawang, berwarna emas, motif ukiran pada mimbar ini adalah sulur tumbuh-tumbuhan.


d.      Serambi

Serambi adalah tempat transisi antara ruang luar dan Masjid utama, pada Masjid Agung Lamongan, terdapat tiga serambi, serambi utara yang digunakan sebagai tempat sholat jamaah wanita (pawestren), serambi selatan untuk akses jamaah pria, dan serambi timur yang menjadi pintu masuk utama dan baru saja di renovasi secara besar-besaran.


e.       Pawestren

Pawestren, atau tempat jamaah putri sholat, merupakan bangunan di sisi utara bangunan utama Masjid Agung Lamongan, bisa diakses dari pintu utara, pintu kusus jamaah putri, dan dari pintu utama, pintu timur.

Pawestren dibuat lebih tertutup dengan dikelilingi oleh kain hijau sebagai penyekat, hal tersebut dikarenakan fungsi utamanya sebagai tempat jamaah putri sholat.


 

f.        Tempat wudhu

Tempat wudhu pada Masjid Agung Lamongan ada di setiap sisi tempat jamaah, untuk tempat wudhu perempuan terdapat pada sisi utara, dan untuk tempat wudhu laki-laki, ada pada sisi selatan.



g.      Penanda Sholat

Penanda sholat sebelum terdapat speaker atau pengeras suara, di Masjid-masjid jawa menggunakan media beduk, di Masjid Agung Lamongan beduk juga masih dipertahankan, dan diletakkan di serambi timur, bangunan baru.


h.      Gerbang

Gerbang atau di Jawa disebut Gapuro berasal dari asmaul husna “Ghofuro” (Maha pengampun), diharapkan orang yang melewati gapuro diampuni dosa-dosanya atau orang yang masuk masjid mengharapkan ampunan atas dosanya dengan meningkatkan ibadah di dalam masjid. Di akses utama sisi timur Masjid Agung Lamongan terdapat gerbang utama, yang berbentuk khas untuk pintu gerbang sebuah masjid, berwarna hijau dan merah bata, kotak persegi dengan pada gerbagn utama, di kanan-kiri perpaduan kotak dan lengkung. Di atas gerbang terdapat lengkungan menyerupai ombak yang saling bertemu.

Gerbang utama tersebut sekarang sudah dibongkar, karena menganggu pandangan bangunan baru di sisi timur.

 

Bentukan gerbang utama sisi utara yang sudah dibongkar tersebut, di duplikasi pada gerbang sisi selatan, yang pada tahun 2000an, diadakan perluasan laha parkir dan dibuka akses dari Jalan Basuki Rahmad.

i.        Menara

Menara yang fungsi awalnya sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan, juga terdapat pada bangunan awal Masjid Agung Lamongan. Menara pada awalnya hanya terdapat satu menara, dan disebut menara qiblatain, karena bentuknya meniru dari menara qiblatain yang ada di Arab Saudi (Wismantara, 2016).

Sekarang menara tersebut masih dipertahankan tetapi sudah berubah bentuk dan melebur jadi bentukan baru serambi timur.


j.        Elemen khusus

Elemen-elemen khusus ini dimaksudkan adanya elemen-elemen sebagai pembeda (ciri khas) dari Masjid Agung Lamongan, yang semakin menguatkan karakter Arsitektur Jawa pada Masjid tersebut. Diantaranya adalah

Gentong batu dan sajadah batu, yang terdapat pada sisi pintu utama sebelah timur, dan terdapat sepasang di sisi utara dan selatan. Gentong dan sajadah batu ini merupakan peninggalan dari legenda laras-liris-andansari-andanwangi, yang mempunyai filosofi gentong sebagai tempat wudhu dan sajadah batu, seberapa berat beban harus tetap melaksanakan sholat.


Soko guru dan ornamen ukiran, perbedaan tempelan oranamen pada kolom utama (empat soko guru) dan kolom pendukung, di dalam bangunan soko guru utama terdapat tangga yang mengarah ke atap, pada masanya digunakan untuk mengumandangkan adzan.


Penutup dinding sebelah barat, yang ditutup oleh kayu dan ornamen sulur dan asmaul husna, selaras dengan ketradisionalan dan menyatu dengan mimbar, mihrab di ruang dalam Masjid Agung Lamongan.

   

II.      KESIMPULAN DAN SARAN

Masjid Agung Lamongan, sebuah Masjid dengan arsitektur jawa yang masih dipertahankan nilai dan eksistensinya hanya saja diperbaharuai tampilan muka di sisi timur, dengan tampilan yang lebih modern dan menyesuaikan dengan kebutuhan ruang.

Dari elemen-elemen di Masjid Agung Lamongan yang ditipologikan pada arsitektur Masjid jawa, seperti elemen: 1. Pola spasial, 2. Elemen Arsitektur Masjid Jawa : (a) Atap, (b) Mihrab, (c) Mimbar, (d) Serambi, (e) Pawestren, (f) Tempat wudhu, (g) Penanda Sholat, (h) Gerbang, (i) Menara (j) Elemen Khusus. Hanya elemen gerbang yang sudah tidak ada, terutama di gerbang utama di sisi timur.

Pelestarian arsitektur jawa yang ada di Masjid Agung Lamongan, akan menambah kekayaan dan keunikan (genius loci) dari suatu daerah dalam hal ini Lamongan, mengingat banyak bangunan masjid yang berlomba membangun tanpa memperhatikan kearifan lokal budaya setempat tanpa bertentangan dengan syariat dan nilai-nilai ketauhidan kepada Allah SWT.

 

REFERENSI

Agustapraja, Hammam Rofiqi.  2018. Pelestarian Arsitektur Langgar Dhuwur Mbah Yai Mastur Lamongan. Jurnal Teknika. Vol 10 hal 1050-1055

Agustapraja, Hammam Rofiqi, 2019. Pelestarian Arsitektur Masjid Agung Lamongan Sebagai Upaya Pemeliharaan Identitas Daerah. Jurnal Arsitektur dan Perencanaan (JUARA), 2(1).

Agustapraja, Hammam Rofiqi, Yulistia Maulidina. 2019. Morfologi Arsitektur Dan Transformasi Fisik Masjid Agung Lamongan. Jurnal Teknika. Vol 11, No 2 hal 1104-1108

Aufa, N. 2012. Tipologi Ruang dan Wujud Arsitektur Masjid Tradisional Kalimantan Selatan. Journal of Islamic Architecture, 1(2).

Dewiyanti, Dhini, and Hanson E Kusuma. 2012. Spaces for Muslims Spiritual Meanings. AcE-Bs 2012 Bangkok ASEAN Conference on Environment-Behaviour Studies, 50(July): 969–78. http://dx.doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.08.098http://dx.doi.org/10.1016/j.sbspro.2015.05.081.

Fanani, Achmad Ir. 2009. Arsitektur Masjid. Mizan Media Utama. Bandung

Groiler International (2002) Indonesian Heritage, PT. Widyadara,Jakarta.

Iskandar, M. S. B. 2005. Tradisionalitas dan modernitas tipologi arsitektur masjid. DIMENSI (Journal of Architecture and Built Environment), 32(2).

Johnson, Paul Alan, 1994. The theory of Architecture. New York: Van Nostrand Reinhold.

Lihawa, H.R., 2006. Tipologi arsitektur rumah tinggal: Studi kasus masyarakat Jawa Tondano (Jaton) di Desa Reksonegoro Kabupaten Gorontalo (Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada).

Marwoto. 2016. Spiritual Phenomena in the Town of Demak. CITIES 2015 International Conference, Intelligent Planning Towards Smart Cities, CITIES 2015, 3-4 November 2015, Surabaya, Indonesia 227(November 2015): 451–57. http://dx.doi.org/10.1016/j.sbspro.2016.06.100

Pangarsa, Galih Widjil. dkk. 2003. Simbolisme Bangunan Bertiang Lima Pada Arsitektur Muslim di Jawa. JOURNAL RUAS / Volume I No. 1 – Juni 2003

Prijotomo, Josef dan Galih Widil Pangarsa. 2010. Rong, Wacana Ruang Arsitektur Jawa, e-book. www.ruangarsitektur.com

Rukayah, R Siti, and Abdul Malik. 2012. Between Colonial , Moslem , and Post-Independence Era , Which Layer of Urban Patterns Should Be Conserved ? AicE-Bs 2012 Cairo ASIA Pacific International Conference on Environment-Behaviour Studies 68: 775–89. http://dx.doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.12.266

Rumiati, A. and Prasetyo, Y.H., 2013. Identifikasi Tipologi Arsitektur Rumah Tradisional Melayu di Kabupaten Langkat dan Perubahannya. Jurnal Permukiman, 8(2), pp.78-88.

Rossi. 1982. The Architecture of the City. Cambridge Mass:MIT Press.

Setianingrum, l., 2015. Konsistensi Esensi Nilai-Nilai Istimewa Tata Ruang Daerah Istimewa Yogyakarta Terhadap Kondisi Empiris Tata Ruang Kota Yogyakarta (Doctoral Dissertation, Universitas Gadjah Mada).

Suprapti, Atiek, and Agung Budi. 2016. The Urban Heritage of Masjid Sunan Ampel Surabaya , toward the Intelligent Urbanism Development. CITIES 2015 International Conference, Intelligent Planning Towards Smart Cities, CITIES 2015, 3-4 November 2015, Surabaya, Indonesia 227(November 2015): 601–8. http://dx.doi.org/10.1016/j.sbspro.2016.06.121

Sumalyo, Yulianto. 2001. Arsitektur Mesjid dan Monumen Sejarah Muslim. Gadjah Mada University Press

Tugiyono, dkk. 2001. Peninggalan Situs dan Bangunan Bercorak Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Mutiara Sumber Widya.

Wafiyyah, Siti Kulashatul. 2017. Perkembangan Arsitektur Masjid Agung Lamongan. fakultas adab dan humaniora, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Antariksa. 2011. Metode Pelestarian Arsitektur. www.academia.edu

Wismantara, Pudji Pratitis. 2016.  Masjid Agung Jami’ Malang dan Ambiguitas Arsitektural . Prosiding Temu Ilmiah IPLBI 2016

Zein, M.W. 1986. Perkembangan Arsitektur Masjid di Jawa Timur. Surabaya: PT.Bina Ilmu.

http//masjid2000.org

link google scholar : FULL PDF

Komentar