Hammam Rofiqi Agustapraja, ST., MT.,
DR. Agung Murti Nugroho, ST., MT.,
DR. Lisa Dwi Wulandari, ST., MT.
Seminar Nasional 2011, Local Tripod, Jurusan Arsitektur, Universitas Brawijaya,
ISBN : 978 - 979 - 15557 - 1 - 5
Abstrak
Desa
Ngadas merupakan salah satu Desa yang di huni oleh masyarakat Suku Tengger,
kehidupan masyrakat Desa Ngadas ini masih menganut kebudayaan dan tradisi yang
turun-temurun dari Suku Tengger. Termasuk juga berbagai ritual dan kepercayaan
yang ada di Suku Tengger, salah satunya adalah Upacara Karo. Permasalahan
terjadi ketika semakin banyaknya penduduk Desa Ngadas, tetapi tidak diimbangi
oleh penambahan luasan wilayah Desa, mengingat lokasi Desa Ngadas ini terletak
di wilayah Hutan Lindung yang berada di pegunungan Bromo-Tengger-Semeru, dan
oleh Pemerintah setempat maupun oleh dinas yang terkait dalam hal ini Dinas
Kehutanan, membatasi wilayah Desa Ngadas, sehingga membuat Desa Ngadas menjadi
padat dan berjejal. Salah satu permasalahannya adalah bagaimana mereka
menyelenggarakan ritual-upacara budaya-keagamaan yaitu Upacara Karo pada tempat
yang terbatas?. Melalui penelitian fenomenologi dan dilihat dari sudut pandang
teori pembentukan ruang, maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan
gambaran pembentukan Ruang yang digunakan untuk ritual kebudayaan Upacara Karo
pada Masyarakat Desa Ngadas, Tengger.
Kata kunci:
Desa Ngadas, Upacara Karo, Ruang-Budaya
Pendahuluan
Desa Ngadas
secara admisitratif terletak di Kecamatan Poncokusumo kabupaten Malang,
Propinsi Jawa Timur. Masyarakat di Desa Ngadas Merupakan satu-satunya Suku
Tengger yang berada di kawasan kabupaten Malang. Menurut pitutur sesepuh desa, Desa Ngadas terbentuk sekitar tahun 1794,
yang berasal dari pelarian warga
Majapahit, karena desakan dari Kerajaan dan agama baru yaitu Islam. Mereka
yang masih ingin memepertahankan kepercayaannya mereka menuju pengunungan Tengger. Pada awalnya hanya menempati bagian lereng
tengah pada ketinggian 600-1200 meter dpl. Seiring dengan berjalanya waktu,
pada pertengahan abad XVIII program tanam paksa yang dilakukan Belanda
menjadikan seluruh kawasan lereng tengah
dijadikan sebagai perkebunan kopi, dimana kopi merupakan komoditas unggulan
yang diharapkan dari program tanam paksa Pengaruh kuat dari program tanam paksa
mengakibatkan sebagian masyarakat yang tinggal di wilayah lereng tengah makukan
migrasi menempati daerah-daerah di bagian lereng atas pada ketinggian 1200-2500
meter dpl. Hal ini dilakukan untuk menghindari pengaruh-pengaruh dari luar
komunitas dan untuk mempertahankan tradisi yang dibawa masyarakat sejak zaman
Majapahit (Hafner, 1999). hal
tersebut juga terjadi pada masyarakat Ngadas.
Berbeda dengan
Masyarakat Tengger Pada Umumnya yang bergama Hindu, masyarakat Desa Ngadas
mayoritas beragama Budha, hal ini di karenakan masyarakat Ngadas merupakan masyarakat yang terisolir dari akses dan
hubungan dengan desa lain,
terutama dengan desa-desa Tengger lainnya. Sehingga rasa kesetempatan yang dimiliki membentuk sebuah sistem
kekerabatan yang terbentuk atas dasar kesaman teritori. Selain itu bagi
masyarakat Tengger khususnya di Desa Ngadas, sistem perkawinan umumnya bersifat
endogami dengan tujuan mempertahankan etnis Tengger.
Masyarakat
Ngadas Secara Administratif Desa, dipimpin oleh Kepala Desa, yang dipilih
secara pemilihan masyarakat Desa, dan biasanya waktu menjabatnya seumur hidup.
Sedangkan secara ritual budaya-keagamaan, masyarakat Ngadas dipimpin oleh
Dukun, dan dukun ini diwariskan secara turun temurun dari dukun-dukun terdahulu
dan tidak bisa diwakilkan oleh orang lain, setiap upacara ritual di Desa Ngadas
ini harus di pimpin oleh Dukun, jadi peran Dukun sangat penting dalam kehidupan
Sosial-ritual mereka.
Masyarakat Ngadas mengenal adanya empat macam ikatan kekerabatan:
1 Sa‘omah. bentuk kekerabatan yang terdiri dari keluarga inti
disebut
1.
Sa‘dulur, Keluarga majemuk seperti kakek-nenek, paman-bibi, sepupu,
keponakan dll.
2.
Sa’deso kelompok
kekerabatan satu desa
3.
Wong Tengger kelompok kekerabatan terbesar yang meliputi
satu klen
Faktor sosial-budaya pada aspek hubungan kekerabatan yang
ada di Desa Ngadas sangat mempengaruhi pembentukan pola spasial mikro dan
makro (desa).
Hal ini dapat terlihat ketika mereka melakukan upacara-upacara
ritual-keagamaan, mereka, baik dalam lingkup Sa’omah, Sa’dulur, Sa’deso
maupun kekerabatan besar Wong Tengger,
mereka akan membentuk sebuah ruang bersama sebagai ruang budaya yaitu ruang
yang digunakan sebagai tempat tradisi ritual mereka.
Upacara-upacara
tersebur adalah:
1.
Upacara Kasada.
2.
Upacara Karo. Perayaan Karo
atau hari raya Karo
3.
Upacara Unan-Unan. Upacara ini
diselenggarakan sekali dalam sewindu.
4.
Upacara Barikan diadakan setelah
terjadi gempa bumi, bencana alam, gerhana, atau peristiwa lain yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat desa
5.
Upacara Pujan Mubeng. Upacara ini
diselenggarakan pada bulan kesembilan atau Panglong Kesanga, yakni pada
hari kesembilan sesudah bulan purnama.
6.
Upacara Kelahiran
7.
Upacara Entas-Entas
8.
Upacara Tugel Kuncung atau tugel
gomba
9.
Upacara Perkawinan
10.
Upacara Kematian
11.
Upacara Liliwet
Upacara dalam
klen yang sangat besar yaitu Upacara
Kasada yang dilakukan oleh masyarakat Tengger yang di lakukan di kawah
gunung Bromo.
Sedangkan Upacara Karo, Unan-unan, Barikan, Pujan
Mubeng, adalah upacara dalam lingkup Desa (Sa’deso), tetapi dengan menggunakan agenda masyarakat Tengger.
Sedangkan untuk
upacara Kelahiran, Entas-entas, Tugel
Kuncung/Tugel Gomba, Perkawinan, Liliwet, merupakan acara Sa’dulur dan Sa’omah, dalam hal ini lingkupnya adalah kekerabatan kecil.
Penelitian
dilakukan untuk mengetahui, Bagaimana Pembentukan Ruang yang digunakan untuk
melakukan kegiatan ritual budaya-keagamaan yang ada di Desa Ngadas?, yang
nantinya akan dijadikan sebuah gambaran-pedoman untuk melestarikan keberadaan
ruang tersebut sebagai bagian dari ritual budaya-keagamaan mereka.
Menurut Dharmojo et al dalam Sugiarto (2006:27) ada
beberapa pendapat yang mencoba untuk mendefinisikan ruang:
1.
Ruang adalah sebuah, bahkan sejumlah tempat, sebuah lahan yang dinamis
dengan benda-benda yang berhubungan langsung dan kualitatik pada penggunaanya
2.
Ruang dalam kaitannya dengan tingkah laku yakni ruang tersebut adalah
tempat interaksi antar manusia yang beraktivitas dan bertingkah laku
3.
Ruang tercipta dengan bahan dan struktur agar terdapat rongga untuk
kegiatan manusia,
4.
Ruang dalam kaitannya dengan psikologi, yakni ruang berkaitan dengan
persepsi dari egosentris pelakunya, bahwa ruang akan tergantung pada keragaman
pengalamannya, dimana tempat yang sama mungkin saaja ditanggapi berbeda-beda
antara masing-masing orang.
Menurut Robinson (2004) yang menjelaskan tentang
tingkatan hirarki ruang, hal tersebut dijelaskan sebagai berikut.
1.
Ranah publik kepentingan umum (public civic domain), seperti
jalan utama dimana sejumlah manusia bisa berkumpul, 500 orang hingga lebih
(ranah bagi orang asing, terbuka untuk akses umum, dimana setiap orang bisa
masuk di dalamnya)
2.
Ranah publik tetangga (public neightborood domain), seperti
jalan utama atau jalan samping yang membentuk sub bagian dari kawasan urban
yang lebih besar, unit wilayah dari 100-500 orang (ranah dimana semua orang
dapat pergi ata berada di tempat ttersebut dengan alasan tertentu)
3.
Semi publik (colective domain) seperti jalan blok perumahan yang
terdiri dari 5 hingga 30 orang ( tempat setiap orang bisa berada disana denga
suatu alasan, tetapi lingkungan tetangga bisa merasakan bahwa apabila ada orang
yang datang tanpa tujan akan terlihat mencurigakan, dan meraka merasa tidak
nyaman)
4.
Ranah semi privat (semi private domain) seperti halaman rumput,
serambi atau entrance (area yang berebatasan dengan area privat yang dikontrol
oleh penghuni dan ketika seseorang yang masuk tanpa ijin, akan ada sanksi
tertentu dari penghuni)
5.
Ranah privat (private domain) seperti ruang tamu, dapur atau
ruang makan yang biasanya digunakan 1 hingga 6 orang dalam rumah tersebut
6.
Ranah semi intim (semi intimate domain) seperti hall yang
berhubungan dengan kamar tidur dan kamar mandi
7.
Ranah intim (intimate domain), kamar tidur atau kamar mandi
(ranah eksklusif bagi individu, dan orang lain harus mendapat ijin untuk masuk
kedalamnya.
Menurut Lang (1987) ruang bersama memberikan
kesempatan kepada masyarakat/orang untuk bertemu tetapi untuk menjadikan hal
ini di perlukan beberapa katalisator. Katalisator mungkin secara individu yang
membawa orang secara bersama-sama,dala sebuah aktivitas, diskusi atau topik
umum. Ruang bersama dapat merupakan ruang terbuka atau tertutup. Menurut Rustam
Hakim (1987) ruang terbuka pada dasarnya merupakan suatu lingkungan baik secara
individu atau secara kelompok dan dapat digunakan oleh publik (setiap orang).
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, Budaya dapat
diartikan. pikiran; akal budi; hasil pemikiran manusia. Sedangkan wujud dari
kebudayaan menurut Koentjoroningrat (1990) dalam Adinugroho (2003:19), ada 3
wujud kebudayaan, yaitu:
1. Wujud ideal; sebagai suatu komplek dari ide-ide,
gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan; sering disebut sistem budaya
2. Wujud perilaku; sebagai suatu komplek aktivitas
manusia; disebut juga sebagai sisem sosial
3. Wujud fisik; sebagai benda hasil karya manusia,
yang disebut kebudayaan fisik.
Menurut kajian pustaka diatas maka dapat diartikan
bahwa ruang budaya adalah sebuah, bahkan sejumlah tempat, yang ada kaitannya
dengan tingkah laku, yakni ruang tersebut adalah tempat interaksi antar manusia
yang beraktivitas dan bertingkah laku, ketika terselenggaranya sebuah atau
sejumlah hasil pikiran manusia yang berupa tradisi dan ketentuan, yang berlaku
dalam kurun waktu tertentu (selama tradisi itu berlangsung).
Bahan dan Metode
Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian adalah
metode deskriptif analitif, bentuk penelitian deskriptif bertujuan untuk
mencari informasi secara faktual untuk membuat pencandraan yang ada di lapangan,
dengan melihat fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan, kemudian temuan
fenomena tersebut di analisa dengan membandingkan dengan foto-data visual yang
menunjukan kondisi bangunan tersebut, kemudian di dapatkan sebuah simpulan
data.
Hasil dan Pembahasan
Eksisting Desa
Masyarakat Desa Ngadas membagi wilayah Desa mereka
dengan tiga zona, yaitu Zona Kepala, Zona Badan dan Zona Kaki.
1.
Zona Kepala, merupakan Zona suci, wilayah yang berada paling
tinggi, diperuntukkan untuk tempat ibadah mereka disini terdapat, Padanyangan,
Sanggar Pemujaan, Pemakaman Desa, Pure.
2.
Zona Badan, merupakan Zona publik, wilayah ini diperuntukkan
untuk tempat dengan kegiatan publik, disini terdapat, Sekolah (SD, SMP) dan
Balai Desa.
3.
Zona Kaki, Merupakan Zona pemukiman yang terdapat pemukiman
penduduk desa Ngadas,
Penzoningan tersebut juga berdampak pula
dalam kehidupan Soial Budaya masyarakat Desa Ngadas, misalnya, mereka hanya
boleh mengembangkan pemukiman mereka pada zona kaki dan tidak diperbolehkan
mengembangkannya ke Zona Suci.
Pada Zona Suci
ini juga ada peraturan adat, yaitu dilarang memasuki Padanyangan kecuali dengan
Dukun yang merupakan pemuka adat mereka.
Pezoningan
tersebut juga untuk melindungi keutuhan budaya mereka termasuk ketika Islam
masuk ke Desa ini, mereka tidak mau menempatkan bangunan ibadah (dalam hal ini
masjid) selain bangunan mereka di zona
suci tetapi mereka menempatkan di kaki, karena mereka menganggap itu bukan
bangunan suci.
Ruang
Budaya
Desa Ngadas ada
tempat (ruang) yang sangat penting sebagai tempat ritual (selain tempat-tempat
pada Zona Suci: Padanyangan, Pure, Sanggar pemujaan, Pemakaman Umum),
tempat-tempat tersebut penting karena merupakan syarat sahnya ritual tersebut,
walaupun tempat (ruang) tersebut tidak dianggap sakral pada hari-hari biasa,
dan kemudian menjadi penting ketika upacara-upacara tradisi berlangsung.
Tempat-tempat itu adalah:
1
Rumah Kepala
Desa
Desa Ngadas
tidak memiliki Rumah Kusus Kepala Desa, Rumah Kepala Desa tersebut berada di
Zona kaki yang merupakan rumah penduduk biasa yang diberi kepercayaan oleh
warga Desa untuk menjadi Kepala Desa.
Walaupun
demikian, setiap semua Upacara dengan sekala Desa, selalu diawali dari rumah
Kepala Desa Ngadas yaitu yang bernama Bapak Kartono, Upacara-upacara tersebut
antara lain: Upacara Karo, Unan-unan,
Barikan, Pujan Mubeng. Kegiatan
ini memanfaatkan teras dan halaman disamping kediaman kepala desa dengan luasan
± 300 m 2, lahan yang pada mulanya bersifat semi publik berubah
menjadi zona publik saat dilaksanakan kegiatan upacara-upacara tersebut.
Oleh karena itu
peran dari kepala Desa disini yaitu sebagai tempat penghimpun massa sebelum
berlanjut ke ritual berikutnya.
2.
Jalan Desa
Desa Ngadas juga
terdapat dua Jalan Utama, yaitu jalan utama yang membelah desa dan jalan umum
yaitu yang menjadi jalan penghubung Desa Ngadas dengan Desa-desa lain.
Disamping
sebagai sarana sirkulasi, jalan tersebut juga berguna sebagai ruang budaya
untuk upacara-upacara adat, yaitu ruang sirkulasi dari Rumah Kepala Desa menuju
Zona Suci (Padanyangan, Pure, Sanggar pemujaan, Pemakaman Umum).
3.
Pemakaman Desa
Secara Umum,
pemakaman ini tidak ubahnya seperti pemakaman biasa hanya berupa tanah Luas,
yang berisi makam yang berjajar, tetapi ketika hari-hari tertentu yaitu ketika
hari upacara-upacara ritual di adakan, tempat ini menjadi ruang budaya-ruang
bersama, dikarenakan pusat semua kegiatan bersekala Desa, puncaknya berada di
tempat ini.
Biasanya mereka
mengadakan, makan-makan dan ada acara hiburan disini (tayuban) disini, setiap
keluarga mereka membuat “ruang” sendiri untuk berkumpul di makam keluarga
mereka. karena menurut mereka, apabila mereka mendapatkan susah dan senang,
mereka harus selalu ingat terhadap leluhur mereka (makam keluarga).
Pembentukan
Ruang Budaya pada Upacara Karo sebagai Ritual Desa Ngadas
Upacara ini
dilakukan selama 7 hari, dan dilaksanakan untuk selamatan Desa yang melibat
seluruh Perangkat Desa dan masyarakatnya. Ruang yang terpakai pada saat
penyelenggaraan Upacara ini adalah Rumah Kepala Desa, Jalan Desa dan Pemakaman
Desa
Rumah Kepala
Desa dipilih sebagai tempat penyelenggaraan dikarenakan masyarakat mempercayai
bahwa sosok Kepala Desa adalah Pengayom dan pelindung Masyarakat, sehingga dengan
diselenggarakan di Rumah Kepala Desa, sebagai wujud penghormatan. Segala bentuk
kegiatan Upacara Karo ini merupakan bentuk partisipatorik masyarakat Desa, baik
dari segi biaya, maupun tenaga. Dari segi biaya, untuk penyelenggaraan Upacara
karo mereka di mintai iuran Desa sebesar Rp 75.000 untuk + 350 KK. Sedangkan
untuk tenaga masak di dapur, keseluruhan menggunakan tenaga masyarakat desa.
Mengingat
Upacara Karo ini berlangsung selam 7 hari, berikut adalah jadwal ritual beserta
pembentukan ruang budaya yang terbentuk.
HARI
1
Pukul 18.00 WIB:
Hari pertama Upacara
Karo diawali ketika matahari sudah terbenam, hal ini dikarenakan pergantian
Hari Jawa itu dimulai ketika matahari terbenam. Acara yang berlangsung adalah Tari
Sodoran, yaitu semacam acara tari tradisional yang diikuti oleh masyarakat
Desa Ngadas dan hal ini berlangsung sampai terbitnya matahari, sedangkan Tempat
yang digunakan adalah Pelataran Rumah Kepala Desa.
Tari Sodor adalah gerakan-gerakan simbolisasi asal
mula (proses) terjadinya manusia yang divisualisasikan dengan gerakan yang
sangat mempertimbangkan kesopanan. Tari
Sodor dilakukan oleh para warga dari desa-desa suku Tengger yang ada di
Gunung Bromo. Para penari menggunakan sodor
(tongkat) yang pada klimaks tariannya akan memuntahkan biji-bijian yang
disimbulkan sebagai kesuburan. Tari
Sodor hanya dipentaskan dalam upacara tradisional perayaan Hari Raya Karo.
Penarinya bisa berpasangan sesama laki-laki, tapi bisa juga dilakukan laki-laki
dan perempuan.
Disamping
digelar Acara Tari Sodor, sebagai
pelengkap acara disediakan makanan dan minuman, hal tersebut boleh di makan
oleh siapa saja mereka yang lapar, dan pemisah antara tempat Tari Sodor dan tempat makan hanya diberi
sekat kain. Pengadaan makanan tersebut dilakukan oleh masyarakat Desa Karo,
baik yang memasak maupun yang menyiapkan makanannya, dan ruang yang digunakan
adalah dapur besar yang disediakan oleh Kepala Desa Ngadas.
HARI
2
Pukul 09.00 WIB
Hari Kedua diawali
ketika setiap Kepala Keluarga membawa bungkusan makanan yang dibungkus dengan
daun pisang, bungkusan makanan tersebut terdiri dari nasi, jajanan pasar, dan
pisang.
Pengumpulan
makanan tersebut diletakkan pada teras Rumah Kepala Desa yang sebelumnya telah
diberi terpal, dan berdasarkan urutan (absen) sehingga Keluarga yang belum
dipanggil mereka mengantri di jalan.
Pukul 10.00 WIB
Setelah semua
bungkusan terkumpul, kemudian di doakan dukun kira-kira selam 15 menit. Setelah
semua terkumpul, bungkusan makanan tersebut diperebutkan untuk “mengalap”
berkah.
Pukul 11.00 WIB
Setelah
perebutan tersebut, dukun kemudian mendatangi setiap rumah, dari pintu ke pintu
untuk mendoakan sesaji dan keselamatan keluarga mereka, dan ritual ini
dihentikan ketika sore hari dan dilanjutkan ke-esokan harinya.
HARI
3 dan 4
Dukun
menyelesaikan kunjungan ke rumah-rumah penduduk, yang terdiri dari kurang lebih
350 KK.
HARI
5 dan 6
Tidak ada ritual
kusus, hanya setiap keluarga mengunjungi tetangga, sanak saudaranya, seperti
ketika silaturahmi Idul Fitri bagi Muslim
HARI
7
Ini merupakan
puncak dari kegiatan ritual Upacara Karo Masyarakat Desa Ngadas, atau yang
disebut sebagai SADRANAN / NYADRAN
Pukul 09.00 WIB
Perangkat Desa
Ngadas berkumpul di kediaman Kepala Desa, dan disini juga tempat berkumpulnya
kesenian “Jaran Joget” sebagai salah
satu instrumen ritual, yang merupakan budaya asli masayarakat Desa Ngadas.
Untuk masyarakat
Desa Ngadas, mereka berduyun-duyun ke Pemakaman Desa sambil membawa makanan dan
pakaina terbaik mereka, acara akan dimulai ketika “Jaran Joget” dan Perangkat Desa sudah memasuki Pemakaman Desa. Selama
perjalanan “Jaran Joget” menunjukan
aksinya di sepanjang jalan desa
Pukul 12.00 WIB
“Jaran Joget” dan Perangkat Desa sampai
di Pemakaman Desa, dan menunjukan aksinya, dengan warga desa mempersiapkan
makanan, mereka menempati ruang diatas makam orang tua/leluhur mereka
masing-masing.
Pukul 12.30 WIB
Adanya sambutan
dari perangkat desa, kemudian Dukun Desa mendoakan untuk semua keselamatan dan
keerkatan Desa, kemudian di sudahi dengan makan bersama, yang diiringi oleh “Tayuban” di panggung yang ada di
Pemakaman Desa.
Setelah makan
bersama selesai mereka pulang kerumah masing-masing
Kesimpulan
Pembentukan Ruang Budaya yang terjadi ketika
Upacara Karo, berawal dari masyarakat yang masih memegang pada aturan
adat-budaya yang berlaku di Desa Ngadas, yang kemudian masyarakat tersebut
menyesuaikan diri dengan tempat yang ada, dan kemudian tebentuklah sebuah ruang
budaya untuk melakukan Ritual Upacara Karo.
Jadi peran Adat setempat dalam pembentukan ruang,
menjadi sebuah patokan.
Ucapan Terima kasih
Alhamdulillah, puji sukur kami panjatkan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan kelancaran kegiatan penelitian ini,
Begitu pula terima kasih kami ucapkan terhadap Agung Murti Nugroho ST., MT., Ph.D., Dr. Lisa Dwi
Wulandari ST., MT. atas
bimbingan dan masukan yang sangat berharga, serta teman-teman seangkatan yang
mendukung penelitian ini, tak lupa juga buat warga Desa Ngadas dan Bapak
Kartono selaku Kepala Desa Ngadas, yang telah memberikan informasi dan bantuan
untuk penelitian ini, dan pihak Universitas Brawijaya terutama Arsitektur, atas
terselenggaranya acara Seminar Nasional ini.
Daftar Pustaka
Lang, Jon.(1987). Creating Architectural Theory : Van Nostand Reinhold, New York
Robinson, Julia w. (2006). Institutional space, domestic space and revisting territoriality with space syntax, university of minnesota. www.undertow.arch.gatech
Sugiarti, Atik. (2006). Perubahan fungsi ruang-dalam rumah industri kecil ‘tas’ di Tanggulangin, Sidoarjo, seminar proposal, Malang:jurusan Arsitektur fakultas teknik Universitas Brawijaya, (tidak dipublikasikan)
Adinugroho, Singgih (2003). Pengaruh Faktor Sosial Budaya terhadap Bentuk dan Tata Ruang Masjid Makam Menara Kudus. Tesis. Semarang Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro
Taufik, Mohamad. (1996). Implikasi dan pengaruh sosial budaya terhadap bentuk tatanan lingkungan permukiman tradisional kawasan menara kudus. Tesis. Semarang Magister Teknik Arsitektur Universitas Diponegoro
Zulkarnaen, Fajar. 2008. Perwujudan Sistem Kekerabatan Pada Pola Spasial Di Desa Ngadas, Tengger. Skripsi. jurusan Arsitektur fakultas teknik Universitas Brawij aya. Malang (tidak dipublikasikan).
cover prosiding:
sertifikat

penyelenggara seminar
daftar isi pada prosiding
file jurnal bisa di unduh disini jurnal
Baca Juga :
RUANG BUDAYA PADA UPACARA KARO DI DESA NGADAS, TENGGER
TIPO-MORFOLOGI POLA SPASIAL BERDASARKAN KEKERABATAN DI DESA NGADAS, TENGGER
Komentar
Posting Komentar