TIPO-MORFOLOGI POLA SPASIAL BERDASARKAN KEKERABATAN DI DESA NGADAS, TENGGER



Hammam Rofiqi Agustapraja

Abstrak

Pembentukan pola pemukiman dalam arsitektur sangat di pengaruhi oleh kondisi sosio-budaya masyarakatnya, termasuk juga Desa Ngadas. Pemukiman ini sangat dipengaruhi oleh kebudayaan Tengger, yang masih memiliki kekerabatan antara penduduk satu sama lain, sehingga terbentuk sebuah kelompok-kelompok keluarga. Kelompok-kelompok keluarga tersebut membentuk pola pemukiman pada masing-masing kelompok hunian yang secara bersama-sama membentuk pola spasial dalam skala makro (desa).
Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan tujuan untuk mendeskripsikan dan sekaligus memahami fenomena pola spasial Desa Ngadas sebagai perwujudan hubungan kekerabatan. 
Hasil analisa menunjukkan sistem kekerabatan berpengaruh terhadap pemanfaatan lahan serta pembentukan spasial yang ada di dalamnya. Sistem kekerabatan sangat mempengaruhi pembentukan spasial dengan memperhatikan prinsip-prinsip efektifitas ruang dimana kemudahan akses, keterbukaan ruang pandang, serta konfigurasi ruang dalam suatu kelompik hunian dapat tercipta dengan baik.

Kata Kunci : Pola Spasial, Sistem kekerabatan, kelompok hunian


PENDAHULUAN
Desa Ngadas terletak di Kecamatan Poncokusumo kabupaten Malang, Propinsi Jawa Timur. Masyarakat di Desa Ngadas Merupakan satu-satunya Suku Tengger yang berada di kawasan kabupaten Malang. Wilayah Desa tersebut terletak dikawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, yang berada pada ketinggian 2000 meter diatas permukaan laut. Jarak Desa Ngadas dan lautan pasir Gunung Bromo ± 12 km.


Desa Ngadas terbentuk pada tahun 1794, dan hingga saat ini, masyarakat Ngadas merupakan masyarakat yang terisolir dari akses dan hubungan dengan desa lain. Sehingga rasa kesetempatan yang dimiliki membentuk sebuah sistem kekerabatan yang terbentuk atas dasar kesaman teritori.

Permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia, karena dalam menjalankan segala bentuk aktivitasnya, manusia membutuhkan suatu tempat bernaung dan melindungi dirinya dari berbagai ancaman bahaya seperti hujan, angin dan bahaya lain yang dapat muncul sewaktu-waktu. Menurut Dwi Ari & Antariksa (2005: 78)

Terbentuknya lingkungan permukiman dimungkinkan karena adanya proses pembentukan hunian sebagai wadah fungsional yang dilandasi oleh pola aktivitas manusia serta pengaruh setting rona lingkungan, baik yang bersifat fisik maupun yang bersifat non fisik (sosial-budaya) yang secara langsung mempengaruhi pola kegiatan dan proses pewadahanya (Rapoport; 1990 dalam Nuraini; 2004 : 11)

Selain itu bagi masyarakat Tengger khususnya di Desa Ngadas, sistem perkawinan umumnya bersifat endogami dengan tujuan mempertahankan etnis Tengger sehingga pada aspek sosial-budaya yang ada khususnya pada sistem kekerabatan, masyarakat Ngadas mengenal adanya tiga macam bentuk kekerabatan yang terdiri dari keluarga inti disebut Sa‘omah. Keluarga majemuk disebut Sa‘dulur dan kelompok kekerabatan terbesar yang disebut Wong Tengger. Faktor sosial-budaya pada aspek hubungan kekerabatan yang ada di Desa Ngadas sangat mempengaruhi pembentukan pola spasial mikro dan makro (desa).

Mereka juga membagi wilayah desa menjadi kepala (tempat suci:kuil), badan (tempat social: makam, balai desa, sekolah), kaki (pemukiman).

Berdasarkan isu-isu tersebut, penelitian dilakukan dengan metode kualitatif deskriptif dengan mengobservasi objek permukiman yang ada di Desa Ngadas, beradasarkan atas Elemen Pola Spasial, Elemen pola spasial dalam suatu lingkungan binaan terdiri dari faktor internal yang berupa kondisi fisik serta fator eksternal yang merupakan kondisi non fisik yang melatar belakangi terbentuknya kondisi fisik dari suatu pola spasial. Menurut Ronald (2005 : 136) menyatkan bahwa aspek–aspek spasial pada hunian terdiri dari: arah (orientation), letak (setting), tingkatan (hierarchy), keterbukaan (transparancy), dan besaran ruang (size). Sedangkan menurut Sasongko (2005:2) menyatakan bahwa struktur spasial pada permukiman digambarkan melalui pengidentifikasian tempat dan batas sebagai komponen utama, selanjutnya diorientasikan melalui jaringan jalan atau lintasan dan hirarki.

Penelitian Deskriptif bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat pada objek kajian. Penelitian ini adalah penelitian secara kualitatif deskriptif yang bersifat deduktif dimana tujuan dari penelitian ini dipahami dalam membuktikan suatu teori tertentu, serta menemukan pola-pola yang mungkin dapat dikembangkan menjadi suatu teori berdasarkan data yang dikumpulkan. (Nasution, 1988:11).

Pola Spasial Pada Kelompok Hunian

Pada kelompok hunian yang terbentuk sebagai perwujudan adanya hubungan kekerabatan di Desa Ngadas, kelompok hunian didirikan pada lokasi dengan kondisi awal merupakan tanah ladang atau pekarangan rumah. Rumah pertama didirikan pada lapisan pertama yang berada di tepi jalan. Perkembangan bangunan pada lapis pertama dengan latar belakang tanah yang digunakan ialah tanah ladang, bangunan yang berada di tepi jalan utama akan berkembang dari kanan ke kiri. Hunian paling kanan merupakan milik dari keluarga paling tua atau biasanya urutan hunian dari kanan ke kiri disesuaikan dengan urutan dalam melangsungkan pernikahan. Perkembangan bangunan pada lapis pertama akan dilakukan hingga batas paling kiri dari lahan yang sudah disepakati sebelumnya. 

Perkembangan selanjutnya yang terjadi pada bangunan yang didirikan pada lapis kedua akan mengarah kebelakang membentuk pola grid hingga batas paling belakang dari setiap kelompok hunian. Perkembangan kebelakang akan berlangsung dengan bertambahnya generasi pada setiap keluarga. Orang tua yang pada mulanya menempati hunian pada lapis pertama akan membangun rumah baru pada pekarangan di belakang rumah setelah salah satu anaknya menikah. Anak yang sudah menikah akan menempati hunian lama milik orang tuanya yang berada pada lapis pertama, sedangkan orang tua akan menempati hunian baru yang berada pada lapis kedua. 

Letak bangunan milik keluarga lain dalam satu kelompok hunian akan berada di lapisan belakang. Adanya hunian keluarga lain dalam satu kelompok hunian dikarenakan faktor ekonomi, dimana pada kelompok hunian dengan kondisi ekonomi menengah kebawah biasanya akan menjual sebagian tanah pekarangan belakang rumah kepada kerabat atau keluarga lain.



Pada kelompok hunian yang terbentuk sebagai perwujudan adanya hubungan kekerabatan dengan latar belakang keluarga kaya, biasanya akan memiliki tanah pekarangan yang cukup luas. Sehingga pada perkembangan bangunan yang didirikan di pekarangan belakang akan memiliki besaran ruang yang cukup longgar. Serta memiliki jarak pandang yang cukup luas terhadap bangunan yang berada di lapisan pertama. Antara bangunan pada lapis pertama dan bangunan pada lapis kedua terdapat ruang antara yang digunakan kelompok keluarga sebagai jalur sirkulasi menuju hunian anggota kelompok keluarga yang lain. Ruang antara juga dibuat dengan mempertimbangkan keleluasaan jarak pandang hunian pada lapis kedua terhadap bangunan yang berada pada lapis pertama. Semakin luas pekarangan yang yang ada, tidak menentukan besaran ruang antara yang digunakan. Bangunan yang didirikan pada lapisan kedua akan membentuk ruang antara dengan mempertimbangkan kemudahan akses serta untuk menciptakan kesinambungan ruang yang cukup dekat dengan ruang-ruang pada bangunan yang berada di lapisan pertama. Ruang antara ini terbentuk sebagai perwujudan hubungan kekerabatan yang dimiliki. Pertimbangan untuk kemudahan akses serta kebutuhan akan keterbukaan jarak pandang antar bangunan dalam satu kelompok hunian sangat diperhatikan dalam membentuk ruang antara yang mempertimbangkan prinsip efektifitas. Pada pekarangan yang berada di belakang rumah tidak terdapat pembatas antara milik keluarga satu dengan keluarga yang lain dalam satu kelompok hunian.

Bangunan yang berada pada lapis pertama memiliki teras rumah yang memberikan jarak antara ruang tamu dengan jalan utama desa. Kondisi awal teras yang ada tidak terdapat pagar pembatas dengan jalan utama dibentuk dengan batas bawah merupakan tanah tanpa adanya material penutup, serta tidak terdapat pembatas yang jelas antara teras hunian satu dengan yang lainya dalam satu deretan rumah yang terbentuk dengan adanya hubungan kekerabatan. Masyarakat menjunjung tinggi nilai kesetempatan yang dimiliki, akibat adanya anggapan bahwa masyarakat di Desa Ngadas merasa berasal dari nenek moyang yang sama. Pada perkembanganya, pagar pembatas jalan utama desa dengan teras rumah mulai dibangun oleh masyarakat di Desa Ngadas pada tahun 1993. Akses menuju desa-desa di sekitar Desa Ngadas mulai dibuka dengan melakukan pelebaran jalan serta memberikan fasilitas yang lebih baik. Jalur utama desa ngadas digunakan sebagai jalur utama kendaraan yang melintasi desa tersebut. Sehingga masyarakat mulai membuat pagar pembatas rumah dengan jalan utama desa. Penggunaan pagar lebih dikarenakan faktor kenyamanan dan keamanan penghuni bangunan yang berada di tepi jalan utama. Meskipun demikian pagar yang digunakan memiliki ketinggian maksimal 120 cm serta dibuat dari bahan dan bentuk yang tidak mengurangi optimalisasi jarak pandang bangunan dari lingkungan sekitarnya.

Teras bersambung yang terbentuk sebagai perwujudan hubungan kekerabatan berfungsi sebagai ruang untuk bersosialisasi antar anggota keluarga dalam kelompok hunian maupun dengan tetangga. 



Kelompok hunian yang terbentuk akan memiliki batas bagian paling depan lahan ialah pagar pembatas dengan jalan utama atau kontur yang sedikit menurun, sehingga pada bangunan yang terletak pada kontur yang lebih tinggi dari jalan utama biasanya tidak digunakan pagar pembatas dengan jalan utama. Batas bagian paling belakang meupakan kontur merurun yang sudah dibentuk menggunakan dinding penahan. Batas samping setiap kelompok hunian adalah ruas gang dan dinding milik kelompok keluarga lain.

Pada hunian yang tebentuk sebagai perwujudan hubungan kekerabatan, bangunan yang ada dalam suatu kelompok hunian akan memiliki arah orientasi bangunan menuju jalan utama. Bangunan yang terletak pada lapis kedua dan ketiga yang masih memiliki hubungan kekerabatan dengan kelompok besar di lingkungannya atau masih merupakan keturunan dari pemilik hunian yang berada di lapis pertama akan memilki arah orientasi menuju bangunan yang berada pada lapis pertama, sedangkan bangunan pada lapis kedua dan ketiga milik kelurga lain orientasi bangunan akan menuju ruas gang yang menghubuangkan unit hunian tersebut dengan jalan utama desa.

Jaringan jalan yang terbentuk merupakan penentu arah orientasi bangunan yang ada dibagian tepi maupun bangunan yang berada pada lapis kedua dan ketiga. Secara umum pola jaringan jalan yang terbentuk akan membentuk pola grid. pada bangunan yang berada di lapis pertama terdapat jaringan jalan yang tegak lurus dengan bangunan tesebut. Bagian depan bangunan di lapisan kedua dan ketiga akan membentuk ruang antara yang berfungsi sebagai jaringan jalan sekunder yang letaknya sejajar dengan jalan utama desa. Ruas jalan yang terbentuk akan digunakan penghuni antar bangunan yang berada di lapis kedua dan ketiga menuju lingkungan hunian kerabatnya. Jaringan sirkulasi kedua yang terbentuk ialah ruas-ruas gang yang antar bangunan, ruas gang ini terbentuk tegak lurus dengan jalan utana desa. hunian yang berada di lapis kedua dan ketiga akan menggunakan jalur sirkulasi ini sebagai jaringan jalan yang menghubungkan antara jalan utama dengan unit hunian tersebut. 

Bangunan yang sudah menglami perkembangan dengan memberikan pagar pembatas dengan jalan utama akan terbentuk akses masuk yang digunakan secara bersama-sama melaui pintu pagar, meskipun demikian bangunan di tepi jalan utama tersebut akan tetap memberikan kemudahan akses bagi penghuni bangunan di lapis kedua dan ketiga agar tetap dapat memanfaatkan ruas gang yang berada di samping rumah.

Pada hunian yang tebentuk sebagai perwujudan hubungan kekerabatan, bangunan yang ada dalam suatu kelompok hunian akan memiliki tiga tingkatan (hierarchy). Tingkat pertama merupakan unit-unit rumah yang ada pada kelompok hunian (keluarga sa’omah) tergolong dalam tingkatan hierarchy privat. Sedangkan teras rumah dan pekarangan yang ada di bagian belakang rumah dimanfaatkan secara bersama antar penghuni yang ada dalam kelompok hunian ini tergolong kedalam tingkatan (hierarchy) semi privat. Dan yang terakhir ialah ruas jalan utama serta lingkungan luar dengan batas tetangga atau orang lain (tangga-teparo) tergolong kedalam tingkatan (hierarchy) publik.

Pola Spasial Pada Unit Hunian Hunian

Jenis ruang yang selalu ditemui pada unit hunian yang ada di Desa Ngadas ialah ruang tamu, kamar tidur dan dapur. Tiga ruangan tersebut merupakan ruang minimal yang ada dalam satu unit hunian. Sehingga ketiga ruang tersebut merupakan ruang utama yang ada dalam satu unit rumah tinggal. Rumah dengan ruang-ruang utama ruang tamu – kamar – dapur merupakan upaya untuk memenuhi fungsi dasar rumah, seperti yang di ungkapkan oleh Tjahjono ( 1992)

Ruang tamu merupakan ruang yang menghubungkan antara ruang luar yang berupa teras dan jaringan jalan melalui bukaan pintu dan jendela. Ruang tamu merupakan ruang utama yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu yang bukan tergolong kerabat atau tetangga. Ruang tamu juga berfungsi sebagai tempat berkumpul apabila luasan dapur terlalu kecil, sehingga dalam unit rumah tinggal ruang ini diupayakan ada. Kondisi ini lebih dikarenakan fungsi ruang tamu yang fleksibel untuk berbagai keperluan yang ada. Fungsi ruang tamu dapat berubah menjadi ruang berkumpul, ruang tidur anggota kerabat, atau fungsi yang lainya saat diadakan acara pernikahan atau selamatan. 

Dapur pada unit hunian di Desa Ngadas juga merupakan ruang utama. Dapur yang ada pada setiap unit hunian memiliki hubungan langsung dengan ruang luar yang berupa ruang antar huian yang berfungsi sebagai jalur sirkulasi, ruang ini dihubungkan dengan adanya bukaan pintu dapur. Dapur memiliki fungsi yang paling kompleks dibandingkan dengan ruang yang lainya. Dengan adanya kompleksitas fungsi ruang dapur, secara umum dapur yang ada pada unit hunian di Desa Ngadas berukuran luas (lebih besar dari ruang tamu). Sebagai perwujudan hubungan kekerabatan yang ada terhadap keberadaan ruang dapur. Bagi hunian yang memiliki ukuran dapur yang luas kegiatan berkumpul dilakukan di dapur. Fungsi dapur selain sebagai tempat memasak juga berfungsi sebagai tempat berkumpul antar anggota keluarga, antar anggota dalam kelompok kerabat, dan ruang untuk menerima tamu yang masih tergolong kerabat atau tetangga (warga Desa Ngadas). 

Pada hunian dengan latar belakang tanah atau pekarangan yang luas, ruang-ruang yang ada akan memiliki pola yang simetris serta dapur dibagian belakang letaknya terpisah dengan bangunan inti yang ada di bagian depan. Pola ini ditunjukan pada sampel keluarga milik Ibu marmi, milik Ibu sariti dan Bapak Muladi.



Bangunan bagian belakang pada mulanya ialah bangunan dapur yang pada perkembanganya mengalami renovasi dan menjadi hunian milik orang tua saat terjadi perpindahan kepemilikan. Bangunan depan memiliki pola ruang yang simetri dengan membagi ruang-ruang yang sama besar antara bagian kanan dan kiri. Bentuk ruang yang simetris merupakan perwujudan sistem kekerabatan terhadap ruang-ruang yang ada pada unit hunian. Dengan adanya pola ruang yang berbentuk simetris, saat bangunan depan diwariskan kepada dua anak yang sudah menikah masing-masing akan mendapatkan bagian yang sama besar. 


Pada bangunan yang berbentuk simetris, digunakan elemen yang bersifat semi permanen sebagai pembatas antar ruang kanan dan kiri. Elemen pembatas ini dapat berupa bukaan yang berupa pintu dan jendela atau dinding semi permanen yang dibuat dari bahan multipleks. Keinginan untuk tetap tinggal berdekatan dengan anggota keluarga yang lain membentuk pola ruang yang simetris dengan pembatas ruang kanan dan kiri berupa elemen semi permanen. 

Fungsi pembatas ruang dengan bahan semi permanen menjadikan besaran ruang yang lebih fleksibel. Pada kegiatan-kegiatan tertentu yang membutukan luasan ruang yang lebih besar, seperti pada kegiatan selamatan dan acara pernikahan, pembatas semi permanen ini dapat dibuka. Sehingga terbentuk ruang yang lebih luas dan membentuk kesinambungan ruang yang berada di sebelah kanan dan kiri. Fungsi pembatas ruang yang berupa bukaan pintu atau jendela ialah membentuk akses yang menghubungkan ruang di sebelah kanan dan kiri. Hal ini menunjukan pemanfaatan elemen pembatas ruang yang dibuat dari bahan semi permanen memiliki sifat yang lebih fleksibel dan efisien dalam menciptakan kesinambungan fungsi ruang.

Antara bangunan bagian depan dan belakang terdapat ruang antara. ruang ini sering digunakan antar anggota kelompok keluarga sebagai jalur sirkulasi menuju hunian kerabatnya yang berada di lapisan kedua.

Ruang antara bangunan depan dan belakang berjarak kurang lebih 1.5 meter. Selain berfuangsi sebagai jalur sirkulasi ruang antara ini berfungsi untuk menciptakan keterbukaan ruang pandang yang lebih luas antara bangunan depan dan bangunan belakang.

Pencapaian pada unit hunian yang ada di desa Ngadas memiliki pola yang sama. Pada setiap unit hunian akan terdapat dua pencapaian yaitu melalui pintu utama yang berada di ruang tamu atau melalui pintu yang berada di dapur. Akses masuk kedalam bangunan sedapat mungkin langsung menuju ruang tamu dan dapur. Pintu utama yang berada di bagian depan bangunan lebih jarang digunakan oleh penghuni rumah dan tamu yang masih merupakan kerabat atau tetangga. Pencapaian menuju bangunan lebih sering dilakukan melalui pintu dapur. Akses dari jalan utama desa menuju pintu dapur akan melewati ruas gang antar bangunan yang tegak lurus dengan jalan utama. Akses melalui jaringan jalan yang berada di samping rumah memiliki frekwensi pemanfaatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pemanfaatan akses menuju ruang tamu. Karena jaringan jalan yang berada di samping rumah dimanfaatkan secara bersama antar penghuni dalam satu kelompok hunian dan kerabat atau tetangga menuju unut-unit hunian tersebut. 

KESIMPULAN

Hasil analisa dengan menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan variabel yang digunakan yaitu elemen pola spasial yang berwujud fisik. Elemen tersebut terdiri dari: Pengidentifikasian tempat dilakukan berdasarkan aspek-aspek pembentuknya yaitu letak (setting), Besaran Ruang (size) dengan menggunakan batas sebagai komponen utama spasialnya, arah (orientation) dideskripsikan dengan penjabaran aspek jaringan jalan dan tingkatan (hierarchy). menunjukkan bagaimana sistem kekerabatan berpengaruh terhadap pemanfaatan lahan serta pembentukan spasial yang ada di dalamnya. Sistem kekerabatan sangat mempengaruhi pembentukan spasial dengan memperhatikan prinsip-prinsip efektifitas ruang dimana kemudahan akses, keterbukaan ruang pandang, serta konfigurasi ruang dalam suatu kelompik hunian dapat tercipta dengan baik. Pemanfatan elemen-elemen pembatas ruang yang bersifat semi permanen juga merupakan indikasi untuk menciptakan efektifitas dan fleksibilitas pemanfaatan ruang yang ada.

DAFTAR PUSTAKA

Asikin, Damayanti, 1995. “Keragaman Spasial Rumah Tinggal di Daerah pinggiran Sungai Brantas kelurahan Kotalama, Kotamadya Malang”

Amiuza, Chairil B dkk, 1996 ” Pergeseran Spasial dan Stilistika Arsitektur Vernakular Madura Barat di Arosbaya

Darjosanjoto, Endang TS. 2006 ” Penelitian Arsitektur di Bidang perumahan dan Permukiman” ITS Press. Surabaya.

Sasongko, Ibnu, 2005 ” Pembentukan Struktur Ruang Permukiman Berbasis Budaya ” Dimensi Teknik Arsitektur. Volume 33. nomor 1., Juli, 2005

Pangarsa, Galih W, dkk, 1994 ” Deformasi dan Dampak Ruang Arsitektur Madura Pedalungan di Lereng Utara tengger”

Salvina DS, Vina dkk, 2003. Potret Kearifan hidup masyarakat Samin Dan Tengger, LkiS, Yogyakarta

Hefner, Robert W, 1999 ” Geger Tengger, Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik ” LkiS Yogyakarta

Hafner, Robert W. 1983 ”hindu Javanese : Tengger Tradition and Islam. Princeton : Princeton University Press.

Jaya dinata, Johara T. 1992. Tata Guna tanah Dalam Perencanaan Pedesaan Perkotaan Dan Wilayah. Bandung ITB

Tuan, Yi Fu. 1997. Space and Place, the Perpektive of Experience Minneapolis : Edward Arnold

Yudohusodo, Siswono, dkk, 1991 “ Rumah Untuk Seluruh Rakyat” Jakarta

Zulkarnaen, Fajar. 2008. Perwujudan Sistem Kekerabatan Pada Pola Spasial Di Desa Ngadas, Tengger. Skripsi. jurusan Arsitektur fakultas teknik Universitas Brawij aya. Malang (tidak dipublikasikan)



































Komentar